Jurnal Refleksi Minggu 8
Pendidikan
Calon Guru Penggerak Minggu 8
Pekan padat, materi juga padat. Pekan
ini meteri memasuki modul 1.4 tentang Budaya Positif. Pembelajaran dimulai
dengan mengisi beberapa pertanyaan dalam LMS tentang budaya positif di sekolah.
Ada 6 poin pembahasan di modul 1.4 ini,
yaitu:
1.
Perubahan
Paradigma -Stimulus Respon lawan Teori Kontrol
2.
Arti Disiplin dan
3 Motivasi Perilaku Manusia
3.
Keyakinan Kelas,
Hukuman dan Penghargaan
4.
Lima (5) Kebutuhan
Dasar Manusia
5.
Lima (5) Posisi
Kontrol
6.
Segitiga Restitusi
Semua materi sangat menarik, karena berhubungan
langsung dengan tugas sebagai Guru di sekolah. Bekal dasar untuk bisa menunjang
keberhasilan proses pembelajaran di sekolah. Berikut adalah rangkuman dari
materi dalam modul 1.4:
1.
Perubahan Paradigma -Stimulus Respon
lawan Teori Kontrol
Beberapa
miskonsepsi tentang control dikemukakan oleh Dr. William Glasser dalam Control
Theory. Miskonsepsi-mskonsepsi itu adalah:
a.
Ilusi guru mengontrol murid.
Pada dasarnya kita tidak
dapat memaksa murid untuk berbuat sesuatu jikalau murid tersebut memilih untuk
tidak melakukannya. Walaupun tampaknya kita sedang mengontrol perilaku murid
tersebut, hal ini karena murid tersebut sedang mengizinkan dirinya dikontrol.
Saat itu bentuk kontrol guru menjadi kebutuhan dasar yang dipilih murid
tersebut. Teori Kontrol menyatakan bahwa semua perilaku memiliki tujuan, bahkan
terhadap perilaku yang tidak disukai
b.
Ilusi bahwa semua penguatan positif efektif dan bermanfaat
Penguatan positif atau
bujukan adalah bentuk-bentuk kontrol. Segala usaha untuk mempengaruhi murid
agar mengulangi suatu perilaku tertentu, adalah suatu usaha untuk mengontrol
murid tersebut. Dalam jangka waktu tertentu, kemungkinan murid tersebut akan
menyadarinya dan mencoba untuk menolak bujukan kita, atau bisa jadi murid
tersebut menjadi tergantung pada pendapat sang guru untuk berusaha.
c.
Ilusi bahwa kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat
menguatkan karakter
Menggunakan kritik dan
rasa bersalah untuk mengontrol murid menuju pada identitas gagal. Mereka
belajar untuk merasa buruk tentang diri mereka. Mereka mengembangkan dialog
diri yang negatif. Kadang kala sulit bagi guru untuk mengidentifikasi bahwa
mereka melakukan perilaku ini, karena seringkali guru cukup menggunakan suara
halus untuk menyampaikan pesan negatif.
d.
Ilusi bahwa orang dewasa memiliki hak untuk memaksa
Banyak orang dewasa yang
percaya bahwa mereka memiliki tanggung jawab untuk membuat murid-murid berbuat
hal-hal tertentu. Apapun yang dilakukan dapat diterima, selama ada sebuah
kemajuan berdasarkan sebuah pengukuran kinerja. Pada saat itu pula, orang
dewasa akan menyadari bahwa perilaku memaksa tidak akan efektif untuk jangka
waktu panjang, dan sebuah hubungan permusuhan akan terbentuk.
Bagaimana seseorang bisa
berubah dari paradigma Stimulus-Respon kepada pendekatan teori Kontrol? Stephen
R. Covey (Principle-Centered Leadership, 1991) mengatakan bahwa, “bila kita
ingin membuat kemajuan perlahan, sedikit-sedikit, ubahlah sikap atau perilaku
Anda. Namun bila kita ingin memperbaiki cara-cara utama kita, maka kita perlu
mengubah kerangka acuan kita. Ubahlah bagaimana Anda melihat dunia, bagaimana
Anda berpikir tentang manusia, ubahlah paradigma Anda, skema pemahaman dan
penjelasan aspek-aspek tertentu tentang realitas”.
1.
Arti Disiplin dan 3 Motivasi Perilaku
Manusia
Sebagian
besar orang akan menghubungkan kata
disiplin dengan tata tertib, teratur, dan kepatuhan pada peraturan. Kata
“disiplin” juga sering dihubungkan dengan hukuman, padahal itu sungguh berbeda,
karena belajar tentang disiplin positif tidak harus dengan memberi hukuman,
justru itu adalah salah satu alternatif terakhir dan kalau perlu tidak digunakan
sama sekali. Dalam budaya kita, makna kata ‘disiplin’ dimaknai menjadi
sesuatu yang dilakukan seseorang pada orang lain untuk mendapatkan kepatuhan.
Kita cenderung menghubungkan kata ‘disiplin’ dengan ketidaknyamanan.
Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline,
2001 menyatakan bahwa arti dari kata disiplin berasal dari bahasa Latin,
‘disciplina’, yang artinya ‘belajar’. Kata ‘discipline’ juga berasal dari akar
kata yang sama dengan ‘disciple’ atau murid/pengikut. Untuk menjadi seorang
murid, atau pengikut, seseorang harus paham betul alasan mengapa mereka
mengikuti suatu aliran atau ajaran tertentu, sehingga motivasi yang terbangun
adalah motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik.
Seseorang yang memiliki disiplin diri berarti mereka bisa
bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya karena mereka mendasarkan
tindakan mereka pada nilai-nilai kebajikan universal. Sebagai pendidik, tujuan
kita adalah menciptakan anak-anak yang memiliki disiplin diri sehingga mereka
bisa berperilaku dengan mengacu pada nilai-nilai kebajikan universal dan
memiliki motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik.
2.
Keyakinan Kelas, Hukuman dan Penghargaan
Keyakinan Kelas
Nilai-nilai kebajikan
dan visi sebuah sekolah perlu ada untuk menentukan arah tujuan dari sebuah
institusi/sekolah. Penyatuan pemikiran untuk mendapatkan nilai-nilai kebajikan
serta visi sekolah tersebut kemudian diturunkan di kelas-kelas menjadi
keyakinan kelas yang disepakati bersama. Nilai-nilai keselamatan atau kesehatan
inilah yang kita sebut sebagai suatu ‘keyakinan’, yaitu nilai-nilai kebajikan
atau prinsip-prinsip universal yang disepakati bersama secara universal, lepas
dari latar belakang suku, negara, bahasa maupun agama. Menurut Gossen (1998),
suatu keyakinan akan lebih memotivasi seseorang dari dalam, atau memotivasi
secara intrinsik. Seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat untuk
menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian
peraturan. Murid-murid pun demikian, mereka perlu mendengarkan dan mendalami
tentang suatu keyakinan, daripada hanya mendengarkan peraturan-peraturan yang
mengatur mereka harus berlaku begini atau begitu.
Pembentukan Keyakinan
Kelas:
•
Keyakinan kelas bersifat lebih ‘abstrak’ daripada
peraturan, yang lebih rinci dan konkrit.
•
Keyakinan kelas berupa pernyataan-pernyataan universal.
•
Pernyataan keyakinan kelas senantiasa dibuat dalam
bentuk positif.
•
Keyakinan kelas hendaknya tidak terlalu banyak,
sehingga mudah diingat dan dipahami oleh semua warga kelas.
•
Keyakinan kelas sebaiknya sesuatu yang dapat diterapkan
di lingkungan tersebut.
•
Semua warga kelas hendaknya ikut berkontribusi dalam
pembuatan keyakinan kelas lewat kegiatan curah pendapat.
•
Bersedia meninjau kembali keyakinan kelas dari waktu ke
waktu
Prosedur Pembentukan
Keyakinan Kelas:
- Mempersilakan murid-murid di kelas untuk bercurah
pendapat tentang peraturan yang perlu disepakati di kelas.
- Mencatat semua masukan-masukan para murid di papan
tulis atau di kertas besar (kertas ukuran poster), di mana semua anggota
kelas bisa melihat hasil curah pendapat.
- Susunlah keyakinan kelas sesuai prosedur ‘Pembentukan
Keyakinan Kelas’. Gantilah kalimat-kalimat dalam bentuk negatif menjadi
positif.
Contoh:
Kalimat negatif : Jangan berlari di kelas atau koridor.
Kalimat
positif: Berjalanlah di kelas atau koridor.
- Tinjau kembali daftar curah pendapat yang sudah
dicatat. Anda mungkin akan mendapati bahwa pernyataan yang tertulis di
sana masih banyak yang berupa peraturan-peraturan. Selanjutnya, ajak
murid-murid untuk menemukan nilai kebajikan atau keyakinan yang menjadi
inti dari peraturan tersebut. Contoh: Berjalan di kelas, Dengarkan
Guru, Datanglah tepat waktu bisa disarikan menjadi 1 Keyakinan, yaitu
keyakinan untuk Saling Menghormati atau nilai kebajikan Hormat. Keyakinan
inilah yang dijadikan daftar untuk disepakati. Kegiatan ini juga merupakan
peralihan dari bentuk peraturan ke keyakinan kelas.
- Tinjau ulang Keyakinan Kelas secara bersama-sama. Seharusnya
setelah beberapa peraturan telah disatukan menjadi beberapa keyakinan maka
jumlah butir pernyataan keyakinan akan berkurang. Sebaiknya keyakinan
kelas tidak terlalu banyak, bisa berkisar antara 3-7 prinsip/keyakinan.
Bilamana terlalu banyak, maka warga kelas akan sulit mengingatnya.
- Setelah keyakinan kelas selesai dibuat, maka semua
warga kelas dipersilakan meninjau ulang, dan menyetujuinya dengan
menandatangani keyakinan kelas tersebut, termasuk guru dan semua
murid.
- Keyakinan Kelas selanjutnya bisa dilekatkan di dinding
kelas di tempat yang mudah dilihat semua warga kelas.
Dalam menjalankan peraturan ataupun keyakinan kelas, bilamana
ada suatu pelanggaran, tentunya sesuatu harus terjadi. Untuk itu kita perlu
meninjau ulang penerapan penegakan peraturan atau keyakinan kelas kita selama
ini. Penerapan terhadap suatu pelanggaran bisa dalam bentuk hukuman atau
sanksi, atau berupa Restitusi. Namun sebelum kita melangkah kepada penerapan
Restitusi, kita perlu bertanya adakah perbedaan antara hukuman dan Sanksi? Bila
sama, di mana persamaannya? Bila berbeda, bagaimana perbedaannya? Perlu
ditambahkan bahwa bentuk sanksi untuk lingkungan pendidikan disesuaikan menjadi
konsekuensi. Pemahaman konsekuensi adalah bahwa dalam setiap tindakan atau
perbuatan, pasti akan berkonsekuensi, baik atau kurang baik.
Hukuman dan Penghargaan
Alfie Kohn (Punished by Rewards, 1993, Wawancara ASCD Annual
Conference, Maret 1995) mengemukakan baik penghargaan maupun hukuman, adalah
cara-cara mengontrol perilaku seseorang yang menghancurkan potensi untuk
pembelajaran yang sesungguhnya. Menurut Kohn, secara ideal tindakan belajar itu
sendiri adalah penghargaan sesungguhnya.
Kohn selanjutnya juga mengemukakan beberapa alasan mengapa
penghargaan justru sama seperti menghukum seseorang.
Pengaruh Jangka Pendek dan
Jangka Panjang
·
Penghargaan berlaku untuk mendapatkan seseorang melakukan sesuatu
dalam jangka waktu pendek.
·
Jika kita menggunakan penghargaan lagi, dan lagi, maka orang
tersebut akan bergantung pada penghargaan yang diberikan, serta kehilangan
motivasi dari dalam.
·
Jika kita mendapatkan penghargaan untuk melakukan sesuatu yang
baik, maka selain kita senantiasa berharap mendapatkan penghargaan tersebut
lagi, kita pun menjadi tidak menyadari tindakan baik yang kita lakukan.
Penghargaan Tidak Efektif
·
Suatu penghargaan adalah suatu benda atau peristiwa yang
diinginkan, yang dibuat dengan persyaratan: Hanya jika Anda melakukan hal ini,
Anda akan mendapatkan penghargaan yang diinginkan.
·
Jika saya mengharapkan suatu penghargaan dan tidak mendapatkannya,
maka saya akan kecewa dan berkecil hati, serta kemungkinan lain kali saya tidak
akan berusaha sekeras sebelumnya.
·
Jika kita memberikan seseorang suatu penghargaan untuk melakukan
sesuatu, maka kita harus terus menerus memberikan penghargaan itu jika kita
ingin orang tersebut meneruskan perilaku yang kita inginkan.
·
Orang yang berusaha berhenti merokok, atau orang yang berusaha
diet menguruskan badan bila diberikan penghargaan tidak akan berhasil.
Penghargaan Merusak Hubungan
·
Ketika seorang diberi penghargaan atau dipuji di depan orang
banyak, maka yang lain akan merasa iri, dan sebagian dari mereka akan tidak
menyukai orang yang diberikan penghargaan tersebut.
·
Jika seorang guru sering memberikan penghargaan kepada
murid-muridnya, besar kemungkinan murid-muridnya termotivasi hanya untuk
menyenangkan gurunya. Mereka tidak akan bersikap jujur kepada guru tersebut.
·
Penghargaan menciptakan persaingan di dalam kelas, dan persaingan
menciptakan kecemasan.
·
Mereka yang percaya bahwa mereka tidak memiliki kesempatan untuk
mendapatkan penghargaan akan berhenti mencoba.
Penghargaan Mengurangi
Ketepatan
Riset I: Dalam sebuah percobaan, sekelompok anak
laki-laki berusia sekitar 9 tahun diminta untuk melihat gambar-gambar wajah
yang ditampilkan di layar, dan mereka harus memberitahukan jika wajah-wajah
tersebut sama atau berbeda. Gambar-gambar tersebut hampir sama. Beberapa dari
mereka diberi penghargaan (dalam bentuk uang) pada saat mereka memberikan
jawaban benar, sementara sebagian yang lain tidak.
Hasil: Anak laki-laki yang dibayar membuat lebih
banyak kesalahan.
Riset II: Anak-anak diminta mengingat kata-kata
tertentu, kemudian mereka diminta mengambil kartu yang berisi kata-kata yang
diingat tersebut setiap kali muncul. Beberapa anak diberikan permen setiap
mereka memberikan jawaban yang benar, dan sebagian yang lain hanya diberitahu
saja bila jawaban mereka benar.
Hasil: Anak-anak yang mendapatkan permen jawabannya
banyak yang tidak tepat dibandingkan anak-anak yang hanya diberitahu jawabannya
benar.
Penghargaan Menghukum
·
Penghargaan menghukum mereka yang tidak mendapatkan penghargaan.
Misalnya dalam sistem ‘ranking’. Mereka yang mendapatkan ranking kedua akan
merasa ‘dihukum’.
·
Penghargaan dan hukuman adalah hal yang sama, karena keduanya
mencoba mengendalikan perilaku seseorang.
·
Karena orang pada dasarnya tidak suka dikendalikan, dalam jangka
waktu lama, penghargaan akan terlihat sebagai hukuman.
·
Jika suatu penghargaan diharapkan, namun Anda tidak
mendapatkannya, Anda akan merasa dihukum.
Disadur dari materi pelatihan ‘Dihukum oleh
Penghargaan’, Yayasan Pendidikan Luhur-Foundation for Excellence in Education,
2006.
3.
Lima (5) Kebutuhan Dasar Manusia
Seluruh tindakan manusia memiliki tujuan tertentu. Semua
yang kita lakukan adalah usaha terbaik kita untuk mendapatkan apa yang kita
inginkan. Ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan, sebetulnya saat itu
kita sedang memenuhi satu atau lebih dari satu kebutuhan dasar kita, yaitu
kebutuhan untuk bertahan hidup (survival), cinta dan kasih sayang (love and
belonging), kebebasan (freedom), kesenangan (fun), dan kekuasaan (power).
Ketika seorang murid melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan
nilai-nilai kebajikan, atau melanggar peraturan, hal itu sebenarnya dikarenakan
mereka gagal memenuhi kebutuhan dasar mereka. Untuk lebih jelasnya, mari kita
lihat satu persatu kelima kebutuhan dasar ini.
1) 1) Cinta dan kasih sayang (Kebutuhan untuk
Diterima)
Kebutuhan ini dan tiga kebutuhan berikutnya
adalah kebutuhan psikologis. Kebutuhan untuk mencintai dan memiliki meliputi
kebutuhan akan hubungan dan koneksi sosial, kebutuhan untuk memberi dan
menerima kasih sayang dan kebutuhan untuk merasa menjadi bagian dari suatu
kelompok. Kebutuhan ini juga meliputi keinginan untuk tetap terhubung dengan
orang lain, seperti teman, keluarga, pasangan hidup, teman kerja, binatang
peliharaan, dan kelompok dimana kita tergabung.
Anak-anak yang memiliki kebutuhan dasar cinta dan kasih sayang yang tinggi biasanya ingin disukai dan diterima oleh lingkungannya. Mereka juga akrab dengan orang tuanya. Biasanya mereka belajar karena suka pada gurunya. Bagi mereka, teman sebaya sangatlah penting. Mereka juga biasanya suka bekerja dalam kelompok.
1) 2) Kebutuhan Bertahan Hidup
Kebutuhan bertahan hidup (survival) adalah
kebutuhan yang bersifat fisiologis untuk bertahan hidup misalnya kesehatan,
rumah, dan makanan. Seks sebagai bagian dari proses reproduksi termasuk
kebutuhan untuk tetap bertahan hidup. Komponen psikologis pada kebutuhan ini
meliputi kebutuhan akan perasaan aman.
2) 3) Penguasaan (Kebutuhan Pengakuan atas
Kemampuan)
Kebutuhan ini berhubungan dengan kekuatan
untuk mencapai sesuatu, menjadi kompeten, menjadi terampil, diakui atas
prestasi dan keterampilan kita, didengarkan dan memiliki rasa harga diri.
Kebutuhan ini meliputi keinginan untuk dianggap berharga, bisa membuat
perbedaan, bisa membuat pencapaian, kompeten, diakui, dihormati. Ini meliputi
self esteem, dan keinginan untuk meninggalkan pengaruh. Anak-anak yang memiliki
kebutuhan dasar akan kekuasaan yang tinggi biasanya selalu ingin menjadi
pemimpin, mereka juga suka mengamati sebelum mencoba hal baru dan merasa kecewa
bila melakukan kesalahan. Mereka juga biasanya rapi dan sistematik dan selalu
Ingin mencapai yang terbaik
3) 4) Kebebasan
(Kebutuhan Akan Pilihan)Kebutuhan
untuk bebas adalah kebutuhan akan kemandirian, otonomi, memiliki pilihan dan
mampu mengendalikan arah hidup seseorang. Anak-anak dengan kebutuhan kebebasan
yang tinggi menginginkan pilihan, mereka perlu banyak bergerak, suka
mencoba-coba, tidak terlalu terpengaruh orang lain dan senang mencoba hal baru
dan menarik.
4) 5) Kesenangan (Kebutuhan untuk merasa senang)
Kebutuhan akan kesenangan adalah kebutuhan untuk mencari kesenangan, bermain, dan tertawa. Bayangkan hidup tanpa kenikmatan apa pun, betapa menyedihkan. Glasser menghubungkan kebutuhan akan kesenangan dengan belajar. Semua hewan dengan tingkat intelegensi tinggi (anjing, lumba-lumba, primata, dll) bermain. Saat mereka bermain, mereka mempelajari keterampilan hidup yang penting. Manusia tidak berbeda. Anak-anak dengan kebutuhan dasar kesenangan yang tinggi biasanya Ingin menikmati apa yang dilakukan. Mereka juga konsentrasi tinggi saat mengerjakan hal yang disenangi. Mereka suka permainan dan suka mengoleksi barang, suka bergurau, suka melucu dan juga menggemaskan, bahkan saat bertingkah laku buruk
Lima (5) Posisi Kontrol
Model disiplin yang berpusat pada murid dikembangkan oleh
Diane Gossen dengan pendekatan Restitusi, yang disebut dengan 5 Posisi
Kontrol. Diane Gossen dalam bukunya Restitution-Restructuring School
Discipline (1998) mengemukakan bahwa guru perlu meninjau kembali penerapan
disiplin di dalam ruang-ruang kelas kita selama ini. Apakah telah efektif,
apakah berpusat memerdekakan dan memandirikan murid, bagaimana dan mengapa?
Melalui serangkaian riset dan bersandar pada teori Kontrol Dr. William Glasser,
Gossen berkesimpulan ada 5 posisi kontrol yang diterapkan seorang guru, orang
tua ataupun atasan dalam melakukan kontrol. Kelima posisi kontrol tersebut
adalah Penghukum, Pembuat Orang Merasa Bersalah, Teman, Monitor (Pemantau) dan
Manajer. Mari kita tinjau lebih dalam kelima posisi kontrol ini:
1)
Penghukum: Seorang penghukum bisa menggunakan hukuman fisik maupun
verbal. Orang-orang yang menjalankan posisi penghukum, senantiasa mengatakan
bahwa sekolah memerlukan sistem atau alat yang dapat lebih menekan murid-murid
lebih dalam lagi. Guru-guru yang menerapkan posisi penghukum akan berkata: “Patuhi
aturan saya, atau awas!” “Kamu selalu saja salah!” “Selalu, pasti selalu yang
terakhir selesai”
Guru seperti ini senantiasa percaya hanya ada
satu cara agar pembelajaran bisa berhasil, yaitu cara dia.
2)
Pembuat Orang Merasa Bersalah:
pada posisi ini biasanya guru akan bersuara lebih lembut. Pembuat orang merasa
bersalah akan menggunakan keheningan yang membuat orang lain merasa tidak
nyaman, bersalah, atau rendah diri. Kata-kata yang keluar dengan lembut akan
seperti:
“Ibu
sangat kecewa sekali dengan kamu”
“Berapa
kali Bapak harus memberitahu kamu ya?”
“Gimana
coba, kalau orang tua kamu tahu kamu berbuat begini?”
Di posisi ini murid akan memiliki penilaian diri
yang buruk tentang diri mereka, murid merasa tidak berharga, dan telah
mengecewakan orang-orang disayanginya.
3) 3) Teman: Guru pada posisi ini
tidak akan menyakiti murid, namun akan tetap berupaya mengontrol murid melalui
persuasi. Posisi teman pada guru bisa negatif ataupun positif. Positif di sini
berupa hubungan baik yang terjalin antara guru dan murid. Guru di posisi teman
menggunakan hubungan baik dan humor untuk mempengaruhi seseorang. Mereka akan
berkata:
“Ayo bantulah, demi bapak ya?”
“Ayo ingat tidak bantuan Bapak selama ini?”
“Ya sudah kali ini tidak apa-apa. Nanti Ibu bantu
bereskan”.
Hal negatif dari posisi teman adalah bila suatu
saat guru tersebut tidak membantu maka murid akan kecewa dan berkata, “Saya
pikir bapak/Ibu teman saya”. Murid merasa dikecewakan, dan tidak mau lagi
berusaha, Hal lain yang mungkin timbul adalah murid hanya akan bertindak untuk
guru tertentu, dan tidak untuk guru lainnya. Murid akan tergantung pada guru
tersebut.
4) 4) Monitor/Pemantau: Memonitor berarti
mengawasi. Pada saat kita mengawasi, kita bertanggung jawab atas perilaku
orang-orang yang kita awasi. Posisi pemantau berdasarkan pada
peraturan-peraturan dan konsekuensi. Dengan menggunakan sanksi/konsekuensi,
kita dapat memisahkan hubungan pribadi kita dengan murid, sebagai seseorang
yang menjalankan posisi pemantau. Pertanyaan yang diajukan seorang pemantau:
“Peraturannya
apa?”
“Apa
yang telah kamu lakukan?”
“Sanksi
atau konsekuensinya apa?”
Seorang
pemantau sangat mengandalkan penghitungan, catatan, data yang dapat digunakan
sebagai bukti atas perilaku seseorang. Posisi ini akan menggunakan stiker, slip
catatan, daftar cek. Posisi monitor sendiri berawal dari teori stimulus-respon,
yang menunjukkan tanggung jawab guru dalam mengontrol murid.
5) 5) Manajer: Posisi terakhir,
Manajer, adalah posisi mentor di mana guru berbuat sesuatu bersama dengan
murid, mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid
agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri. Seorang manajer telah
memiliki keterampilan di posisi teman maupun pemantau, dan dengan demikian,
bisa jadi di waktu-waktu tertentu kembali kepada kedua posisi tersebut bila
diperlukan. Namun bila kita menginginkan murid-murid kita menjadi manusia yang
merdeka, mandiri dan bertanggung jawab, maka kita perlu mengacu kepada
Restitusi yang dapat menjadikan murid kita seorang manajer bagi dirinya
sendiri. Di manajer, murid diajak untuk menganalisis kebutuhan dirinya,
maupun kebutuhan orang lain. Disini penekanan bukan pada kemampuan membuat konsekuensi,
namun dapat berkolaborasi dengan murid bagaimana memperbaiki kesalahan yang
ada. Seorang manajer akan berkata:
“Apa yang kita yakini?” (kembali ke keyakinan kelas)
“Apakah kamu meyakininya?”
“Jika kamu menyakininya, apakah kamu bersedia
memperbaikinya?”
“Jika kamu memperbaiki ini, hal ini menunjukkan apa tentang dirimu?”
“Apa rencana kamu untuk memperbaiki hal ini?”
Tugas seorang manajer bukan untuk mengatur
perilaku seseorang. Kita membimbing murid untuk dapat mengatur dirinya. Seorang
manajer bukannya memisahkan murid dari kelompoknya, tapi mengembalikan murid
tersebut ke kelompoknya dengan lebih baik dan kuat.
3.
Segitiga Restitusi
Diane Gossen dalam bukunya
Restitution; Restructuring School Discipline, 2001 telah merancang sebuah
tahapan untuk memudahkan para guru dan orangtua dalam melakukan proses untuk
menyiapkan anaknya untuk melakukan restitusi, bernama segitiga
restitusi/restitution triangle. Proses ini meliputi tiga tahap dan setiap
tahapnya berdasarkan pada prinsip penting dari Teori Kontrol, yaitu:
Ketiga strategi tersebut
direpresentasikan dalam 3 sisi segitiga restitusi. Langkah-langkah itu tidak harus
dilakukan satu persatu. Banyak guru yang sudah menggunakannya dalam berbagai
versi menurut gaya mereka masing-masing bahkan tanpa mengetahui tentang teori
restitusi.
Demikianlah materi
dari modul 4.1 tentang Budaya Positif. Dalam kegiatan elaborasi disajikan 4
kasus yang kemudian dibahas dalam kelompok dan dipresentasikan. Banyak hal-hal
baru dalam diskusi ini, banyak hal yang ternyata masih harus saya perbaiki
untuk dapat merealisasikan budaya positif ini di sekolah. Di pelatihan ini,
saya harus bisa berkolaboratif dengan semua civitas akademik di sekolah. Semoga
Allah mudahkan…
Kampus SMPN 1Cibogo
Comments
Post a Comment