Jurnal Refleksi Minggu 8

 

Pendidikan Calon Guru Penggerak Minggu 8

 

 Periode 9-16 Oktober 2021

Pekan padat, materi juga padat. Pekan ini meteri memasuki modul 1.4 tentang Budaya Positif. Pembelajaran dimulai dengan mengisi beberapa pertanyaan dalam LMS tentang budaya positif di sekolah. Ada 6 poin pembahasan  di modul 1.4 ini, yaitu:

1.      Perubahan Paradigma -Stimulus Respon lawan  Teori Kontrol

2.      Arti Disiplin dan 3 Motivasi Perilaku Manusia

3.      Keyakinan Kelas, Hukuman dan Penghargaan

4.      Lima (5) Kebutuhan Dasar Manusia

5.      Lima (5) Posisi Kontrol 

6.      Segitiga Restitusi

Semua materi sangat menarik, karena berhubungan langsung dengan tugas sebagai Guru di sekolah. Bekal dasar untuk bisa menunjang keberhasilan proses pembelajaran di sekolah. Berikut adalah rangkuman dari materi dalam modul 1.4:

1.      Perubahan Paradigma -Stimulus Respon lawan  Teori Kontrol

Beberapa miskonsepsi tentang control dikemukakan oleh Dr. William Glasser dalam Control Theory. Miskonsepsi-mskonsepsi itu adalah:

a.      Ilusi guru mengontrol murid

Pada dasarnya kita tidak dapat memaksa murid untuk berbuat sesuatu jikalau murid tersebut memilih untuk tidak melakukannya. Walaupun tampaknya kita sedang mengontrol perilaku murid tersebut, hal ini karena murid tersebut sedang mengizinkan dirinya dikontrol. Saat itu bentuk kontrol guru menjadi kebutuhan dasar yang dipilih murid tersebut. Teori Kontrol menyatakan bahwa semua perilaku memiliki tujuan, bahkan terhadap perilaku yang tidak disukai

 

b.      Ilusi bahwa semua penguatan positif efektif dan bermanfaat

Penguatan positif atau bujukan adalah bentuk-bentuk kontrol. Segala usaha untuk mempengaruhi murid agar mengulangi suatu perilaku tertentu, adalah suatu usaha untuk mengontrol murid tersebut. Dalam jangka waktu tertentu, kemungkinan murid tersebut akan menyadarinya dan mencoba untuk menolak bujukan kita, atau bisa jadi murid tersebut menjadi tergantung pada pendapat sang guru untuk berusaha. 

c.       Ilusi bahwa kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat menguatkan karakter

Menggunakan kritik dan rasa bersalah untuk mengontrol murid menuju pada identitas gagal. Mereka belajar untuk merasa buruk tentang diri mereka. Mereka mengembangkan dialog diri yang negatif. Kadang kala sulit bagi guru untuk mengidentifikasi bahwa mereka melakukan perilaku ini, karena seringkali guru cukup menggunakan suara halus untuk menyampaikan pesan negatif.

d.      Ilusi bahwa orang dewasa memiliki hak untuk memaksa

Banyak orang dewasa yang percaya bahwa mereka memiliki tanggung jawab untuk membuat murid-murid berbuat hal-hal tertentu. Apapun yang dilakukan dapat diterima, selama ada sebuah kemajuan berdasarkan sebuah pengukuran kinerja. Pada saat itu pula, orang dewasa akan menyadari bahwa perilaku memaksa tidak akan efektif untuk jangka waktu panjang, dan sebuah hubungan permusuhan akan terbentuk.

Bagaimana seseorang bisa berubah dari paradigma Stimulus-Respon kepada pendekatan teori Kontrol? Stephen R. Covey (Principle-Centered Leadership, 1991) mengatakan bahwa, “bila kita ingin membuat kemajuan perlahan, sedikit-sedikit, ubahlah sikap atau perilaku Anda. Namun bila kita ingin memperbaiki cara-cara utama kita, maka kita perlu mengubah kerangka acuan kita. Ubahlah bagaimana Anda melihat dunia, bagaimana Anda berpikir tentang manusia, ubahlah paradigma Anda, skema pemahaman dan penjelasan aspek-aspek tertentu tentang realitas”. 

1.      Arti Disiplin dan 3 Motivasi Perilaku Manusia

Sebagian besar orang akan menghubungkan kata disiplin dengan tata tertib, teratur, dan kepatuhan pada peraturan.  Kata “disiplin” juga sering dihubungkan dengan hukuman, padahal itu sungguh berbeda, karena belajar tentang disiplin positif tidak harus dengan memberi hukuman, justru itu adalah salah satu alternatif terakhir dan kalau perlu tidak digunakan sama sekali. Dalam budaya kita, makna kata ‘disiplin’ dimaknai menjadi sesuatu yang dilakukan seseorang pada orang lain untuk mendapatkan kepatuhan. Kita cenderung menghubungkan kata ‘disiplin’ dengan ketidaknyamanan.

Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline, 2001 menyatakan bahwa arti dari kata disiplin berasal dari bahasa Latin, ‘disciplina’, yang artinya ‘belajar’. Kata ‘discipline’ juga berasal dari akar kata yang sama dengan ‘disciple’ atau murid/pengikut. Untuk menjadi seorang murid, atau pengikut, seseorang harus paham betul alasan mengapa mereka mengikuti suatu aliran atau ajaran tertentu, sehingga motivasi yang terbangun adalah motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik.

Seseorang yang memiliki disiplin diri berarti mereka bisa bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya karena mereka mendasarkan tindakan mereka pada nilai-nilai kebajikan universal. Sebagai pendidik, tujuan kita adalah menciptakan anak-anak yang memiliki disiplin diri sehingga mereka bisa berperilaku dengan mengacu pada nilai-nilai kebajikan universal dan memiliki motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik. 

2.      Keyakinan Kelas, Hukuman dan Penghargaan

Keyakinan Kelas

Nilai-nilai kebajikan dan visi sebuah sekolah perlu ada untuk menentukan arah tujuan dari sebuah institusi/sekolah. Penyatuan pemikiran untuk mendapatkan nilai-nilai kebajikan serta visi sekolah tersebut kemudian diturunkan di kelas-kelas menjadi keyakinan kelas yang disepakati bersama. Nilai-nilai keselamatan atau kesehatan inilah yang kita sebut sebagai suatu ‘keyakinan’, yaitu nilai-nilai kebajikan atau prinsip-prinsip universal yang disepakati bersama secara universal, lepas dari latar belakang suku, negara, bahasa maupun agama. Menurut Gossen (1998), suatu keyakinan akan lebih memotivasi seseorang dari dalam, atau memotivasi secara intrinsik. Seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan. Murid-murid pun demikian, mereka perlu mendengarkan dan mendalami tentang suatu keyakinan, daripada hanya mendengarkan peraturan-peraturan yang mengatur mereka harus berlaku begini atau begitu.

Pembentukan Keyakinan Kelas:

         Keyakinan kelas bersifat lebih ‘abstrak’ daripada peraturan, yang lebih rinci dan konkrit.

         Keyakinan kelas berupa pernyataan-pernyataan universal.

         Pernyataan keyakinan kelas senantiasa dibuat dalam bentuk positif.

         Keyakinan kelas hendaknya tidak terlalu banyak, sehingga mudah diingat dan dipahami oleh semua warga kelas.

         Keyakinan kelas sebaiknya sesuatu yang dapat diterapkan di lingkungan tersebut.

         Semua warga kelas hendaknya ikut berkontribusi dalam pembuatan keyakinan kelas lewat kegiatan curah pendapat.

         Bersedia meninjau kembali keyakinan kelas dari waktu ke waktu

 

Prosedur Pembentukan Keyakinan Kelas:

  1. Mempersilakan murid-murid di kelas untuk bercurah pendapat tentang peraturan yang perlu disepakati di kelas.
  2. Mencatat semua masukan-masukan para murid di papan tulis atau di kertas besar (kertas ukuran poster), di mana semua anggota kelas bisa melihat hasil curah pendapat.
  3. Susunlah keyakinan kelas sesuai prosedur ‘Pembentukan Keyakinan Kelas’. Gantilah kalimat-kalimat dalam bentuk negatif menjadi positif. 

Contoh:
Kalimat negatif : Jangan berlari di kelas atau koridor.

Kalimat positif: Berjalanlah di kelas atau koridor.

  1. Tinjau kembali daftar curah pendapat yang sudah dicatat. Anda mungkin akan mendapati bahwa pernyataan yang tertulis di sana masih banyak yang berupa peraturan-peraturan. Selanjutnya, ajak murid-murid untuk menemukan nilai kebajikan atau keyakinan yang menjadi inti dari peraturan tersebut.  Contoh: Berjalan di kelas, Dengarkan Guru, Datanglah tepat waktu bisa disarikan menjadi 1 Keyakinan, yaitu keyakinan untuk Saling Menghormati atau nilai kebajikan Hormat. Keyakinan inilah yang dijadikan daftar untuk disepakati. Kegiatan ini juga merupakan peralihan dari bentuk peraturan ke keyakinan kelas.
  2. Tinjau ulang Keyakinan Kelas secara bersama-sama. Seharusnya setelah beberapa peraturan telah disatukan menjadi beberapa keyakinan maka jumlah butir pernyataan keyakinan akan berkurang. Sebaiknya keyakinan kelas tidak terlalu banyak, bisa berkisar antara 3-7 prinsip/keyakinan. Bilamana terlalu banyak, maka warga kelas akan sulit mengingatnya.
  3. Setelah keyakinan kelas selesai dibuat, maka semua warga kelas dipersilakan meninjau ulang, dan menyetujuinya dengan menandatangani keyakinan kelas tersebut, termasuk guru dan semua murid. 
  4. Keyakinan Kelas selanjutnya bisa dilekatkan di dinding kelas di tempat yang mudah dilihat semua warga kelas.

Dalam menjalankan peraturan ataupun keyakinan kelas, bilamana ada suatu pelanggaran, tentunya sesuatu harus terjadi. Untuk itu kita perlu meninjau ulang penerapan penegakan peraturan atau keyakinan kelas kita selama ini. Penerapan terhadap suatu pelanggaran bisa dalam bentuk hukuman atau sanksi, atau berupa Restitusi. Namun sebelum kita melangkah kepada penerapan Restitusi, kita perlu bertanya adakah perbedaan antara hukuman dan Sanksi? Bila sama, di mana persamaannya? Bila berbeda, bagaimana perbedaannya? Perlu ditambahkan bahwa bentuk sanksi untuk lingkungan pendidikan disesuaikan menjadi konsekuensi. Pemahaman konsekuensi adalah bahwa dalam setiap tindakan atau perbuatan, pasti akan berkonsekuensi, baik atau kurang baik.

Hukuman dan Penghargaan

Alfie Kohn (Punished by Rewards, 1993, Wawancara ASCD Annual Conference, Maret 1995) mengemukakan baik penghargaan maupun hukuman, adalah cara-cara mengontrol perilaku seseorang yang menghancurkan potensi untuk pembelajaran yang sesungguhnya. Menurut Kohn, secara ideal tindakan belajar itu sendiri adalah penghargaan sesungguhnya.

Kohn selanjutnya juga mengemukakan beberapa alasan mengapa penghargaan justru sama seperti menghukum seseorang. 

Pengaruh Jangka Pendek dan Jangka Panjang

·         Penghargaan berlaku untuk mendapatkan seseorang melakukan sesuatu dalam jangka waktu pendek. 

·         Jika kita menggunakan penghargaan lagi, dan lagi, maka orang tersebut akan bergantung pada penghargaan yang diberikan, serta kehilangan motivasi dari dalam.

·         Jika kita mendapatkan penghargaan untuk melakukan sesuatu yang baik, maka selain kita senantiasa berharap mendapatkan penghargaan tersebut lagi, kita pun menjadi tidak menyadari tindakan baik yang kita lakukan.

 

Penghargaan Tidak Efektif

·         Suatu penghargaan adalah suatu benda atau peristiwa yang diinginkan, yang dibuat dengan persyaratan: Hanya jika Anda melakukan hal ini, Anda akan mendapatkan penghargaan yang diinginkan.

·         Jika saya mengharapkan suatu penghargaan dan tidak mendapatkannya, maka saya akan kecewa dan berkecil hati, serta kemungkinan lain kali saya tidak akan berusaha sekeras sebelumnya. 

·         Jika kita memberikan seseorang suatu penghargaan untuk melakukan sesuatu, maka kita harus terus menerus memberikan penghargaan itu jika kita ingin orang tersebut meneruskan perilaku yang kita inginkan.

·         Orang yang berusaha berhenti merokok, atau orang yang berusaha diet menguruskan badan bila diberikan penghargaan tidak akan berhasil.

Penghargaan Merusak Hubungan

·         Ketika seorang diberi penghargaan atau dipuji di depan orang banyak, maka yang lain akan merasa iri, dan sebagian dari mereka akan tidak menyukai orang yang diberikan penghargaan tersebut.

·         Jika seorang guru sering memberikan penghargaan kepada murid-muridnya, besar kemungkinan murid-muridnya termotivasi hanya untuk menyenangkan gurunya. Mereka tidak akan bersikap jujur kepada guru tersebut.

·         Penghargaan menciptakan persaingan di dalam kelas, dan persaingan menciptakan kecemasan.

·         Mereka yang percaya bahwa mereka tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan penghargaan akan berhenti mencoba. 

Penghargaan Mengurangi Ketepatan

Riset I: Dalam sebuah percobaan, sekelompok anak laki-laki berusia sekitar 9 tahun diminta untuk melihat gambar-gambar wajah yang ditampilkan di layar, dan mereka harus memberitahukan jika wajah-wajah tersebut sama atau berbeda. Gambar-gambar tersebut hampir sama. Beberapa dari mereka diberi penghargaan (dalam bentuk uang) pada saat mereka memberikan jawaban benar, sementara sebagian yang lain tidak. 

Hasil: Anak laki-laki yang dibayar membuat lebih banyak kesalahan.

Riset II: Anak-anak diminta mengingat kata-kata tertentu, kemudian mereka diminta mengambil kartu yang berisi kata-kata yang diingat tersebut setiap kali muncul. Beberapa anak diberikan permen setiap mereka memberikan jawaban yang benar, dan sebagian yang lain hanya diberitahu saja bila jawaban mereka benar. 

Hasil: Anak-anak yang mendapatkan permen jawabannya banyak yang tidak tepat dibandingkan anak-anak yang hanya diberitahu jawabannya benar.

Penghargaan Menghukum

·         Penghargaan menghukum mereka yang tidak mendapatkan penghargaan. Misalnya dalam sistem ‘ranking’. Mereka yang mendapatkan ranking kedua akan merasa ‘dihukum’.

·         Penghargaan dan hukuman adalah hal yang sama, karena keduanya mencoba mengendalikan perilaku seseorang.

·         Karena orang pada dasarnya tidak suka dikendalikan, dalam jangka waktu lama, penghargaan akan terlihat sebagai hukuman.

·         Jika suatu penghargaan diharapkan, namun Anda tidak mendapatkannya, Anda akan merasa dihukum. 

Disadur dari materi pelatihan ‘Dihukum oleh Penghargaan’, Yayasan Pendidikan Luhur-Foundation for Excellence in Education, 2006.

3.      Lima (5) Kebutuhan Dasar Manusia

Seluruh tindakan manusia memiliki tujuan tertentu. Semua yang kita lakukan adalah usaha terbaik kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan, sebetulnya saat itu kita sedang memenuhi satu atau lebih dari satu kebutuhan dasar kita, yaitu kebutuhan untuk bertahan hidup (survival), cinta dan kasih sayang (love and belonging), kebebasan (freedom), kesenangan (fun), dan kekuasaan (power). Ketika seorang murid melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan, atau melanggar peraturan, hal itu sebenarnya dikarenakan mereka gagal memenuhi kebutuhan dasar mereka. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat satu persatu kelima kebutuhan dasar ini.  

 

1)      1) Cinta dan kasih sayang (Kebutuhan untuk Diterima)

Kebutuhan ini dan tiga kebutuhan berikutnya adalah kebutuhan psikologis. Kebutuhan untuk mencintai dan memiliki meliputi kebutuhan akan hubungan dan koneksi sosial, kebutuhan untuk memberi dan menerima kasih sayang dan kebutuhan untuk merasa menjadi bagian dari suatu kelompok. Kebutuhan ini juga meliputi keinginan untuk tetap terhubung dengan orang lain, seperti teman, keluarga, pasangan hidup, teman kerja, binatang peliharaan, dan kelompok dimana kita tergabung.

Anak-anak yang memiliki kebutuhan dasar cinta dan kasih sayang yang tinggi biasanya ingin disukai dan diterima oleh lingkungannya. Mereka juga akrab dengan orang tuanya. Biasanya mereka belajar karena suka pada gurunya. Bagi mereka, teman sebaya sangatlah penting. Mereka juga biasanya suka bekerja dalam kelompok. 

 

1)      2) Kebutuhan Bertahan Hidup

Kebutuhan bertahan hidup (survival) adalah kebutuhan yang bersifat fisiologis untuk bertahan hidup misalnya kesehatan, rumah, dan makanan. Seks sebagai bagian dari proses reproduksi termasuk kebutuhan untuk tetap bertahan hidup. Komponen psikologis pada kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan perasaan aman.

 

2)      3) Penguasaan (Kebutuhan Pengakuan atas Kemampuan)

Kebutuhan ini berhubungan dengan kekuatan untuk mencapai sesuatu, menjadi kompeten, menjadi terampil, diakui atas prestasi dan keterampilan kita, didengarkan dan memiliki rasa harga diri. Kebutuhan ini meliputi keinginan untuk dianggap berharga, bisa membuat perbedaan, bisa membuat pencapaian, kompeten, diakui, dihormati. Ini meliputi self esteem, dan keinginan untuk meninggalkan pengaruh. Anak-anak yang memiliki kebutuhan dasar akan kekuasaan yang tinggi biasanya selalu ingin menjadi pemimpin, mereka juga suka mengamati sebelum mencoba hal baru dan merasa kecewa bila melakukan kesalahan. Mereka juga biasanya rapi dan sistematik dan selalu Ingin mencapai yang terbaik

 

3)   4) Kebebasan (Kebutuhan Akan Pilihan)Kebutuhan untuk bebas adalah kebutuhan akan kemandirian, otonomi, memiliki pilihan dan mampu mengendalikan arah hidup seseorang. Anak-anak dengan kebutuhan kebebasan yang tinggi menginginkan pilihan, mereka perlu banyak bergerak, suka mencoba-coba, tidak terlalu terpengaruh orang lain dan senang mencoba hal baru dan menarik.

 

4)    5)  Kesenangan (Kebutuhan untuk merasa senang)

Kebutuhan akan kesenangan adalah kebutuhan untuk mencari kesenangan, bermain, dan tertawa. Bayangkan hidup tanpa kenikmatan apa pun, betapa menyedihkan. Glasser menghubungkan kebutuhan akan kesenangan dengan belajar. Semua hewan dengan tingkat intelegensi tinggi (anjing, lumba-lumba, primata, dll) bermain. Saat mereka bermain, mereka mempelajari keterampilan hidup yang penting. Manusia tidak berbeda. Anak-anak dengan kebutuhan dasar kesenangan yang tinggi biasanya Ingin menikmati apa yang dilakukan. Mereka juga konsentrasi tinggi saat mengerjakan hal yang disenangi. Mereka suka permainan dan suka mengoleksi barang, suka bergurau, suka melucu dan juga menggemaskan, bahkan saat bertingkah laku buruk

Lima (5) Posisi Kontrol 

Model disiplin yang berpusat pada murid dikembangkan oleh Diane Gossen dengan pendekatan Restitusi, yang disebut dengan 5 Posisi Kontrol. Diane Gossen dalam bukunya Restitution-Restructuring School Discipline (1998) mengemukakan bahwa guru perlu meninjau kembali penerapan disiplin di dalam ruang-ruang kelas kita selama ini. Apakah telah efektif, apakah berpusat memerdekakan dan memandirikan murid, bagaimana dan mengapa? Melalui serangkaian riset dan bersandar pada teori Kontrol Dr. William Glasser, Gossen berkesimpulan ada 5 posisi kontrol yang diterapkan seorang guru, orang tua ataupun atasan dalam melakukan kontrol. Kelima posisi kontrol tersebut adalah Penghukum, Pembuat Orang Merasa Bersalah, Teman, Monitor (Pemantau) dan Manajer. Mari kita tinjau lebih dalam kelima posisi kontrol ini:

1)      Penghukum: Seorang penghukum bisa menggunakan hukuman fisik maupun verbal. Orang-orang yang menjalankan posisi penghukum, senantiasa mengatakan bahwa sekolah memerlukan sistem atau alat yang dapat lebih menekan murid-murid lebih dalam lagi. Guru-guru yang menerapkan posisi penghukum akan berkata: “Patuhi aturan saya, atau awas!” “Kamu selalu saja salah!” “Selalu, pasti selalu yang terakhir selesai”

Guru seperti ini senantiasa percaya hanya ada satu cara agar pembelajaran bisa berhasil, yaitu cara dia. 

2)      Pembuat Orang Merasa Bersalah: pada posisi ini biasanya guru akan bersuara lebih lembut. Pembuat orang merasa bersalah akan menggunakan keheningan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman, bersalah, atau rendah diri. Kata-kata yang keluar dengan lembut akan seperti:

“Ibu sangat kecewa sekali dengan kamu”

“Berapa kali Bapak harus memberitahu kamu ya?”

“Gimana coba, kalau orang tua kamu tahu kamu berbuat begini?”

Di posisi ini murid akan memiliki penilaian diri yang buruk tentang diri mereka, murid merasa tidak berharga, dan telah mengecewakan orang-orang disayanginya.

3)      3) Teman: Guru pada posisi ini tidak akan menyakiti murid, namun akan tetap berupaya mengontrol murid melalui persuasi. Posisi teman pada guru bisa negatif ataupun positif. Positif di sini berupa hubungan baik yang terjalin antara guru dan murid. Guru di posisi teman menggunakan hubungan baik dan humor untuk mempengaruhi seseorang. Mereka akan berkata:

“Ayo bantulah, demi bapak ya?”

“Ayo ingat tidak bantuan Bapak selama ini?”

“Ya sudah kali ini tidak apa-apa. Nanti Ibu bantu bereskan”.

Hal negatif dari posisi teman adalah bila suatu saat guru tersebut tidak membantu maka murid akan kecewa dan berkata, “Saya pikir bapak/Ibu teman saya”. Murid merasa dikecewakan, dan tidak mau lagi berusaha, Hal lain yang mungkin timbul adalah murid hanya akan bertindak untuk guru tertentu, dan tidak untuk guru lainnya. Murid akan tergantung pada guru tersebut. 

 

4)      4) Monitor/Pemantau: Memonitor berarti mengawasi. Pada saat kita mengawasi, kita bertanggung jawab atas perilaku orang-orang yang kita awasi. Posisi pemantau berdasarkan pada peraturan-peraturan dan konsekuensi. Dengan menggunakan sanksi/konsekuensi, kita dapat memisahkan hubungan pribadi kita dengan murid, sebagai seseorang yang menjalankan posisi pemantau. Pertanyaan yang diajukan seorang pemantau:

“Peraturannya apa?”

“Apa yang telah kamu lakukan?”

“Sanksi atau konsekuensinya apa?”

Seorang pemantau sangat mengandalkan penghitungan, catatan, data yang dapat digunakan sebagai bukti atas perilaku seseorang. Posisi ini akan menggunakan stiker, slip catatan, daftar cek. Posisi monitor sendiri berawal dari teori stimulus-respon, yang menunjukkan tanggung jawab guru dalam mengontrol murid.

5)      5) Manajer: Posisi terakhir, Manajer, adalah posisi mentor di mana guru berbuat sesuatu bersama dengan murid, mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri. Seorang manajer telah memiliki keterampilan di posisi teman maupun pemantau, dan dengan demikian, bisa jadi di waktu-waktu tertentu kembali kepada kedua posisi tersebut bila diperlukan. Namun bila kita menginginkan murid-murid kita menjadi manusia yang merdeka, mandiri dan bertanggung jawab, maka kita perlu mengacu kepada Restitusi yang dapat menjadikan murid kita seorang manajer bagi dirinya sendiri.  Di manajer, murid diajak untuk menganalisis kebutuhan dirinya, maupun kebutuhan orang lain. Disini penekanan bukan pada kemampuan membuat konsekuensi, namun dapat berkolaborasi dengan murid bagaimana memperbaiki kesalahan yang ada. Seorang manajer akan berkata:
“Apa yang kita yakini?” (kembali ke keyakinan kelas)

“Apakah kamu meyakininya?”

“Jika kamu menyakininya, apakah kamu bersedia memperbaikinya?”
“Jika kamu memperbaiki ini, hal ini menunjukkan apa tentang dirimu?”
“Apa rencana kamu untuk memperbaiki hal ini?”

Tugas seorang manajer bukan untuk mengatur perilaku seseorang. Kita membimbing murid untuk dapat mengatur dirinya. Seorang manajer bukannya memisahkan murid dari kelompoknya, tapi mengembalikan murid tersebut ke kelompoknya dengan lebih baik dan kuat. 

3.      Segitiga Restitusi

Diane Gossen dalam bukunya Restitution; Restructuring School Discipline, 2001 telah merancang sebuah tahapan untuk memudahkan para guru dan orangtua dalam melakukan proses untuk menyiapkan anaknya untuk melakukan restitusi, bernama segitiga restitusi/restitution triangle. Proses ini meliputi tiga tahap dan setiap tahapnya berdasarkan pada prinsip penting dari Teori Kontrol, yaitu:


Ketiga strategi tersebut direpresentasikan dalam 3 sisi segitiga restitusi. Langkah-langkah itu tidak harus dilakukan satu persatu. Banyak guru yang sudah menggunakannya dalam berbagai versi menurut gaya mereka masing-masing bahkan tanpa mengetahui tentang teori restitusi.

Demikianlah materi dari modul 4.1 tentang Budaya Positif. Dalam kegiatan elaborasi disajikan 4 kasus yang kemudian dibahas dalam kelompok dan dipresentasikan. Banyak hal-hal baru dalam diskusi ini, banyak hal yang ternyata masih harus saya perbaiki untuk dapat merealisasikan budaya positif ini di sekolah. Di pelatihan ini, saya harus bisa berkolaboratif dengan semua civitas akademik di sekolah. Semoga Allah mudahkan…

Kampus SMPN 1Cibogo

Comments

Popular Posts